Saat sekarang ini di Indonesia, hampir tak ada satu orang pun yang
tak pernah mendengar kata pacaran. Wuih, pokoknya mulai dari anak SD
hingga kakek nenek, mulai dari kota sampai desa-desa yang ada di
pegunungan hampir semuanya paham dengan apa itu pacaran. Banyak istilah
untuk menyebut hal ini, di Surabaya biasa disebut genda’an, sedang di Madura biasa disebut sebagai sir-siren.
Lalu sebenarnya pacaran itu apa sih. Yang saya tahu saat dulu kecil
pacaran itu adalah pacar kuku atau biasa disebut pacar air yaitu sejenis
pewarna kuku yang biasa didapat dari menggerus daunnya atau dengan
mengoleskan bubuk yang sudah jadi, warnanya setahu saya adalah warna
merah bata walaupun sekarang sepertinya sudah ada juga yang berwarna
hitam, terus setelah dipakai biasanya dalam jangka waktu tertentu akan
hilang dengan sendirinya.
Loh, kok malah membahas pacar air. Jadi bagaimana nih
sejarah pacaran. Sungguh saya telah mulai mengenal istilah pacaran sejak
dulu pada waktu SD walau saya tak tahu persis apa artinya karena saat
itu saya belum akil baligh. Pokoknya dulu jika saya melihat dua muda
mudi yang belum menikah tampak mesra ya sudah langsung saja saya klaim
dengan mereka sedang pacaran. Anda mungkin masih bertanya-tanya, “Iya
tapi kenapa tiba-tiba di atas Ustad bicara tentang pacar air?” saya pun
akan tersenyum dan berkata, “Sabar, Sob!”prolog saya di atas memang ada
hubungannya karena memang istilah pacaran berasal dari pacar air yang
biasa dipakai oleh ibu-ibu kita dulu saat akan menikah atau yang oleh
teman-teman perempuan saya di Ampel (rumah kakek saya berada di kawasan
Ampel Surabaya) disebut sebagai hena.
Jadi ceritanya begini, dahulu, di masyarakat Melayu khususnya, ada
budaya memakaikan pacar air (masyarakat Melayu biasa menyebutnya inai)
pada dua orang muda mudi yang ‘ketahuan’ saling tertarik oleh
keluarganya. Biasanya sang pemuda mengirimkan ‘sinyal’ tertariknya
dengan mengirim ‘tim’ pembaca pantun untuk sang gadis pujaannya, nah,
tim tadi akan berpantun tepat di depan halaman rumah sang gadis.
Ya………mirip serenada dalam budaya Meksiko-lah (atau mungkin orang Meksiko
menirunya dari budaya Melayu yang dibawa oleh Vasco Da Gama, si
Portugis yang sangat terkenal di Meksiko yang konon pernah mampir di
Melayu, hehe).
Nah, jika si gadis menyambut pantun sang pemuda dan keduanya
ingin meneruskan hubungan mereka maka orangtua keduanya memberikan
pacar air di tangan keduanya. Inai tersebut sebagai tanda bahwa keduanya
telah memiliki hubungan. Lalu? Nah, ini yang sebenarnya sangat
bertanggung jawab. Inai yang ada di tangan akan hilang selama tiga bulan
dan selama waktu itulah sang pemuda mempersiapkan segala kebutuhan
untuk melamar sang gadis. Jika sampai inai di tangan mereka hilang dan
belum juga ada lamaran atau konfirmasi lebih lanjut maka si gadis berhak
untuk memutuskan hubungan tersebut dan menerima pinangan lelaki lain.
Dan jangan bayangkan selama tiga bulan tersebut mereka berpacaran
seperti pacarannya anak zaman sekarang. Mereka sangat terjaga sebelum
pernikahan terjadi.
Kalau sekarang pacaran sudah tidak seperti itu lagi. Pacaran saat
sekarang ini biasa diartikan sebagai mengekspresikan perasaan ‘suka’
pada lawan jenis, terus ditindaklanjuti dengan prilaku-prilaku yang
dianggap romantis dan kemudian publik memberikan pengakuan si A pacaran
dengan si B dan si A adalah pacarnya si B.
Mungkin di antara Anda akan protes, “Ustad Ihsan, saya tidak sepakat!
Pacaran bagi saya adalah proses awal untuk saling mengenal sebelum
menuju pernikahan” eit, jangan marah dulu. Bisa saja Anda berkata
begitu. Tapi kalau boleh jujur berapa kali Anda berpacaran. Rata-rata
dari teman-teman penulis akan berkata, “Ehmm kalau dihitung semua sih cuma lima kali” ada juga yang bilang, “Ah, Cuma 10 kali kok, Ust.” Atau
misalnya saat saya bertanya pada teman-teman saya, “Kamu punya pacar
berapa?” saat itu ada yang menjawab cengingisan, “Cuma tiga kok, hehe”
terus ada juga yang bilang, “Ah cuma dua kok” walau ada yang bilang,
“Cuma satu kok, Ust”. Terus Anda bertanya, “Maksud Ustad Ihsan apa sih
kok cerita begitu?!”. Nah, inilah yang ingin saya sampaikan, bahwa tidak
semua orang pacaran itu diniatin untuk menikah. Banyak di antaranya
yang hanya untuk sekedar menumpahkan perasaan suka tanpa ada maksud
untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Istilah mereka, “Mengalir saja,
Ust” saya pun bertanya, “Mengalir? emangnya air? Iya kalau mengalirnya
ke laut lah kalau ke comberan?”.
Lalu ada seorang di antara Anda bertanya, “Lalu apa definisi
pacaran?” secara jujur saya tidak tahu persis, tapi setidaknya bisa
terpampang seperti yang saya uraikan di paragraf sebelumnya. “Lalu
bagaimana dengan orang yang mengatakan pacaran pra-nikah No, pacaran
pasca-nikah, Yes” begitu tanya salah satu dari Anda. Maka jawab saya,
“Itulah tidak jelasnya pacaran.” Terus Anda bertanya lagi, “Bagaimana
jika kami pacaran tapi tidak melakukan ciuman dan lain-lain” maka jawab
penulis, “Sangat sulit hal yang seperti ini bisa terjadi karena
kesempatan memang nyata-nyata ada di depan mata” terus Anda bilang,
“Kalau bisa?” maka jawab penulis dengan sangat berat, “ Boleh Anda
nyatakan cinta tapi tetap tidak boleh saling berpegangan dan tidak boleh
berduaan. Sangupkah Anda?” pasti Anda akan berpikir-pikir untuk
memenuhi permintaan penulis tadi.
Jadi, mending katakan tidak saja deh untuk pacaran. Daripada
sesal di kemudian hari. Saya tidak melarang Anda punya perasaan suka
pada lawan jenis karena itu adalah sifat asasi manusia. Tapi selayaknya
pikirkan lagi jika Anda mau menindak lanjutinya dengan pacaran. Jika
Anda memang bersungguh-sungguh, utarakan saja pada pihak keluarganya
dengan adat setempat yang berlaku, pinanglah ia dan nikahi. Insyaallah
itu akan dapat menundukkan mata Anda dan menjernihkan hati Anda. “Lah
saya kan masih 16 tahun, Ustad?” begitu alasan Anda, maka jawab saya,
“Jika tak berani mengutarakan keinginan Anda ya lebih baik tak usah
dilakukan” jika sudah begitu Anda pasti garuk-garuk kepala. Saat Anda
sudah garuk-garuk kepala, saya pun akan berkata sambil tersenyum, “Yuk
olahraga yuk!”.Wallahu’a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar