04 Oktober 2012

Sejarah Orang Pacaran

Saat sekarang ini di Indonesia, hampir tak ada satu orang pun yang tak pernah mendengar kata pacaran. Wuih, pokoknya mulai dari anak SD hingga kakek nenek, mulai dari kota sampai desa-desa yang ada di pegunungan hampir semuanya paham dengan apa itu pacaran. Banyak istilah untuk menyebut hal ini, di Surabaya biasa disebut genda’an, sedang di Madura biasa disebut sebagai sir-siren. Lalu sebenarnya pacaran itu apa sih. Yang saya tahu saat dulu kecil pacaran itu adalah pacar kuku atau biasa disebut pacar air yaitu sejenis pewarna kuku yang biasa didapat dari menggerus daunnya atau dengan mengoleskan bubuk yang sudah jadi, warnanya setahu saya adalah warna merah bata walaupun sekarang sepertinya sudah ada juga yang berwarna hitam, terus setelah dipakai biasanya dalam jangka waktu tertentu akan hilang dengan sendirinya.
Loh, kok malah membahas pacar air. Jadi bagaimana nih sejarah pacaran. Sungguh saya telah mulai mengenal istilah pacaran sejak dulu pada waktu SD walau saya tak tahu persis apa artinya karena saat itu saya belum akil baligh. Pokoknya dulu jika saya melihat dua muda mudi yang belum menikah tampak mesra ya sudah langsung saja saya klaim dengan mereka sedang pacaran. Anda mungkin masih bertanya-tanya, “Iya tapi kenapa tiba-tiba di atas Ustad bicara tentang pacar air?” saya pun akan tersenyum dan berkata, “Sabar, Sob!”prolog saya di atas memang ada hubungannya karena memang istilah pacaran berasal dari pacar air yang biasa dipakai oleh ibu-ibu kita dulu saat akan menikah atau yang oleh teman-teman perempuan saya di Ampel (rumah kakek saya berada di kawasan Ampel Surabaya) disebut sebagai hena.
Jadi ceritanya begini, dahulu, di masyarakat Melayu khususnya, ada budaya memakaikan pacar air (masyarakat Melayu biasa menyebutnya inai) pada dua orang muda mudi yang ‘ketahuan’ saling tertarik oleh keluarganya. Biasanya sang pemuda mengirimkan ‘sinyal’ tertariknya dengan mengirim ‘tim’ pembaca pantun untuk sang gadis pujaannya, nah, tim tadi akan berpantun tepat di depan halaman rumah sang gadis. Ya………mirip serenada dalam budaya Meksiko-lah (atau mungkin orang Meksiko menirunya dari budaya Melayu yang dibawa oleh Vasco Da Gama, si Portugis yang sangat terkenal di Meksiko yang konon pernah mampir di Melayu, hehe).
Nah, jika si gadis menyambut pantun sang pemuda dan keduanya ingin meneruskan hubungan mereka maka orangtua keduanya memberikan pacar air di tangan keduanya. Inai tersebut sebagai tanda bahwa keduanya telah memiliki hubungan. Lalu? Nah, ini yang sebenarnya sangat bertanggung jawab. Inai yang ada di tangan akan hilang selama tiga bulan dan selama waktu itulah sang pemuda mempersiapkan segala kebutuhan untuk melamar sang gadis. Jika sampai inai di tangan mereka hilang dan belum juga ada lamaran atau konfirmasi lebih lanjut maka si gadis berhak untuk memutuskan hubungan tersebut dan menerima pinangan lelaki lain. Dan jangan bayangkan selama tiga bulan tersebut mereka berpacaran seperti pacarannya anak zaman sekarang. Mereka sangat terjaga sebelum pernikahan terjadi.
Kalau sekarang pacaran sudah tidak seperti itu lagi. Pacaran saat sekarang ini biasa diartikan sebagai mengekspresikan perasaan ‘suka’ pada lawan jenis, terus ditindaklanjuti dengan prilaku-prilaku yang dianggap romantis dan kemudian publik memberikan pengakuan si A pacaran dengan si B dan si A adalah pacarnya si B.
Mungkin di antara Anda akan protes, “Ustad Ihsan, saya tidak sepakat! Pacaran bagi saya adalah proses awal untuk saling mengenal sebelum menuju pernikahan” eit, jangan marah dulu. Bisa saja Anda berkata begitu. Tapi kalau boleh jujur berapa kali Anda berpacaran. Rata-rata dari teman-teman penulis akan berkata, “Ehmm kalau dihitung semua sih cuma lima kali” ada juga yang bilang, “Ah, Cuma 10 kali kok, Ust.” Atau misalnya saat saya bertanya pada teman-teman saya, “Kamu punya pacar berapa?” saat itu ada yang menjawab cengingisan, “Cuma tiga kok, hehe” terus ada juga yang bilang, “Ah cuma dua kok” walau ada yang bilang, “Cuma satu kok, Ust”. Terus Anda bertanya, “Maksud Ustad Ihsan apa sih kok cerita begitu?!”. Nah, inilah yang ingin saya sampaikan, bahwa tidak semua orang pacaran itu diniatin untuk menikah. Banyak di antaranya yang hanya untuk sekedar menumpahkan perasaan suka tanpa ada maksud untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Istilah mereka, “Mengalir saja, Ust” saya pun bertanya, “Mengalir? emangnya air? Iya kalau mengalirnya ke laut lah kalau ke comberan?”.
Lalu ada seorang di antara Anda bertanya, “Lalu apa definisi pacaran?” secara jujur saya tidak tahu persis, tapi setidaknya bisa terpampang seperti yang saya uraikan di paragraf sebelumnya. “Lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan pacaran pra-nikah No, pacaran pasca-nikah, Yes” begitu tanya salah satu dari Anda. Maka jawab saya, “Itulah tidak jelasnya pacaran.” Terus Anda bertanya lagi, “Bagaimana jika kami pacaran tapi tidak melakukan ciuman dan lain-lain” maka jawab penulis, “Sangat sulit hal yang seperti ini bisa terjadi karena kesempatan memang nyata-nyata ada di depan mata” terus Anda bilang, “Kalau bisa?” maka jawab penulis dengan sangat berat, “ Boleh Anda nyatakan cinta tapi tetap tidak boleh saling berpegangan dan tidak boleh berduaan. Sangupkah Anda?” pasti Anda akan berpikir-pikir untuk memenuhi permintaan penulis tadi.
Jadi, mending katakan tidak saja deh untuk pacaran. Daripada sesal di kemudian hari. Saya tidak melarang Anda punya perasaan suka pada lawan jenis karena itu adalah sifat asasi manusia. Tapi selayaknya pikirkan lagi jika Anda mau menindak lanjutinya dengan pacaran. Jika Anda memang bersungguh-sungguh, utarakan saja pada pihak keluarganya dengan adat setempat yang berlaku, pinanglah ia dan nikahi. Insyaallah itu akan dapat menundukkan mata Anda dan menjernihkan hati Anda. “Lah saya kan masih 16 tahun, Ustad?” begitu alasan Anda, maka jawab saya, “Jika tak berani mengutarakan keinginan Anda ya lebih baik tak usah dilakukan” jika sudah begitu Anda pasti garuk-garuk kepala. Saat Anda sudah garuk-garuk kepala, saya pun akan berkata sambil tersenyum, “Yuk olahraga yuk!”.Wallahu’a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar